Menteri Jujur dan Miskin, Raja Arab dan Raja Tunisia serta Sejumlah Tokoh Dunia pun Akui Dia

Menteri Jujur dan Miskin, Raja Arab dan Raja Tunisia serta Sejumlah Tokoh Dunia pun Akui Dia

PERINTISPADANG – Mohammad Natsir adalah tokoh intelektual, pejuang, ulama, sekaligus negarawan yang pernah dimiliki Indonesia. Dalam dunia politik, ia juga merupakan tokoh terpandang dan dipercaya untuk memimpin Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada 1945 hingga titik pembubarannya pada 1960.

Natsir dilahirkan di Kampung Jam batan, Alahan Panjang, Padang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908. Ia merupakan putra dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.

Pada masa kecilnya, Natsir mengenyam pendi dikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun. Dia kemudian melanjutkan ke Hollandsch- Inlandsche School (HIS) Adabiyyah di Padang. Ketika menimba ilmu di HIS, pada waktu yang sama, ia juga belajar ilmu agama di Madrasah Diniah Solok pada 1916 hingga 1923.

Natsir memang ikut dalam dunia pergerakan nasional. Seperti di ku tip dari Muhammad Natsir dan Pemikirannya Tentang Demokrasi dan diterbit kan Universitas Islam Ne geri Sunan Kalijaga disebutkan bahwa sepak terjang Natsir dalam dunia pergerakan dimulai ketika dia meneruskan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Ketika di MULO Natsir mulai aktif dalam perhimpunan atau organisasi pemuda. Di antaranya, Jong Isalamieten Bond (JIS) dan Pandu Nationale Islamietische. Dia pernah dipercaya untuk menjadi ketua JIS Bandung pada 1928 hingga 1932.

M Dzulfikriddin dalam bukunya Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia menyebut bahwa Natsir telah mencurahkan hidupnya dalam berbagai aspek kehidupan. Mulai pendidikan, dakwah Islam, hingga politik.

Dalam dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, Jawa Barat. Pendis merupakan sebuah pendidikan Islam modern bercorak agama. Di Pendis, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun terhitung sejak 1932.

Dalam dunia politik, Natsir dikenal sebagai tokoh yang menghendaki Islam sebagai landasan atau ideologi negara. Dalam sebuah jurnal berjudul Pandangan Mohammad Natsir Mengenai Islam Sebagai Ideologi Negara yang dipublikasikan Universitas Sumatra Utara (USU), disinggung mengenai hal ini.

Natsir berpendapat, agama harus dijadikan fondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, dalam konteks ini Islam, bukan semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan yang Maha Esa. Islam lebih dari sebuah sistem peribadahan. Ia adalah suatu kebudayaan atau peradaban yang lengkap dan sempurna.

Dalam hal ini, Islam, menurut Natsir, dapat terejawantahkan dalam setiap lini kehidupan, mulai kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah, hingga perundang-undangan.

Kendati demikian, Islam tetap mengizinkan setiap orang untuk menyatakan pandangan atau pendiriannya dalam musyawarah bersama. Seperti Allah SWT berfirman, Dan hendaklah urus an mereka diputuskan dengan musyawarah.

Natsir memang mencoba menjawab kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat Islam. Dengan dasar pemikiran bahwa ajaran Islam sangat dinamis untuk diterapkan pada setiap waktu dan zaman.

Menurut jurnal yang diterbitkan USU, Natsir dinilai telah melampaui pemikiran Maududi atau Ibnu Khaldun yang melihat sistem pemerintahan Nabi Muhammad SAW dan empat khalifah setelahnya sebagai satu-satunya alternatif sistem pemerintahan negara Islam.

Kendati menginginkan hadirnya unsur Islam dalam tata pemerintahan, Natsir memang menghendaki model pemerintahan demokratis. Dalam hal ini, Natsir tetap menghendaki model pemerintahan yang demokratis, yang tetap mengedepankan atau memprioritaskan ketertiban, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Tanpa membedakan agama, ras, dan suku bangsa.

Muhammad Natsir menekankan persatuan agama dan negara dalam pemerintahan. Sebab, ia memang menyepakati dan menyatakan bahwa demokrasi itu sesuai dengan ajaran Islam.

Bahkan, Bruce Lawrence, seorang pakar studi Islam pernah men juluki Natsir sebagai tokoh paling menonjol dalam membantu pembaruan Islam. Semasa hidupnya, Natsir telah menerima berbagai penghargaan berkat jasanya. Pada 1957, misalnya, ia menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey, karena jasanya menolong perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.

Pada 1980, Natsir juga dianugerahi penghargaan Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi lewat Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Ia memperoleh gelar doktor kehormatan dalam bidang politik Islam dari Kampus Islam Lebanon pada 1967. Ia juga memperoleh gelar kehormatan untuk bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia.

Masih terdapat beberapa penghargaan lainnya yang diberikan kepada Mohammad Natsir. Natsir wafat pada 6 Februari 1993. Pada masa pemerintahan BJ Habibie, Natsir kembali diberi penghargaan lainnya, yakni penghargaan Bintang Republik Indonesia Adipradana.

Guru Besar University Cornell sekaligus seorang Indonesianis asal Amerika, George McTurnan Kahin, menggambarkan kesederhanaannya dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.

Kahin bertutur, saat pertama kali bertemu di Yogyakarta, dia heran dengan penampilan Natsir yang sama sekali tak tampak sebagai seorang menteri. “Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pejabat pemerintah mana pun,” tulis Kahin.

Kemeja Natsir juga hanya ada dua, kata dia, itu pun kusam. Selain itu, saat menjadi Menteri Penerangan, Natsir besama istrinya Ummi Nurnahar dan kelima anaknya, yaitu Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, menumpang tinggal di rumah sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Natsir tak lagi menumpang ketika pemerintah menyediakan rumah bagi keluarga ini pada 1946. Setelah menjadi Perdana Menteri tahun 1950, negara memberikan berbagai fasilitas seperti rumah yang lebih layak, lengkap dengan penjagaan dan pengawalan, termasuk tukang cuci dan masak, serta tukang kebun.

Meski mendapatkan semua fasilitas tersebut, keluarga Natsir tetap tampil sederhana. Bahkan, istri Natsir masih kerap berbelanja sendiri ke pasar.

Mohammad Natsir adalah sosok yang menyodorkan Mosi Integral, yang mempertahankan bentuk negara kesatuan dan mencegah Indonesia terpecah belah.

Pada tahun 1951, setelah Natsir mengundurkan diri sebagai perdana menteri, negara menyediakan dana taktis yang jumlahnya cukup besar. Meski dana itu adalah haknya, Natsir memilih tak memakainya untuk kepentingan pribadi dan malah menempatkannya di koperasi karyawan. (Red)

Sumber : Media dan Buku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.